Sumber: http://arifkurniawan.wordpress.com/
Arif Kurniawan wrote:
Tahun baru 2005, saya kecelakaan. Jatuh ketika main game outbond ugal-ugalan dengan rekan kerja. Cukup parah. Kepala membentur beton, dari ketinggian 1-2 meter. Pingsan dan dibawa ambulan.
Di balik semua kisah, pasti ada hikmah. Katanya orang-orang yang percaya. Dan saya bukanlah tipe orang-orang itu… hehehe.
Dalam beberapa hari setelah ‘kejatuhan’, mahasiswa-mahasiswi saya datang berbondong-bondong membesuk ke rumah. Datangnya juga nggak kira-kira, man. Sekali datang bisa 20-30 orang. Banyak banget!
Sialnya lagi, hanya 2-3 orang yang bawa makanan atau buah-buahan. Selebihnya modal senyum dan say apakabar. Lebih sialnya lagi, the rest.., cuma numpang makan makanan besuk buat saya yang dibawa temannya. Walhasil, saya tetap lapar! Hehehe.
Hari ketujuh. Saya pikir sudah cukup kuat. Tangan saya membaik. Kelingking sudah bisa digerakkan. Saya pikir, hari kedelapan bisa minta tolong ke tunangan untuk diantar ke kampus dengan mobilnya. Hari itu, saya kedatangan tamu, salah seorang yang berniat membesuk saya. Ia, seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun. Salah seorang mahasiswa yang saya ajar dalam kelas multimedia. Namanya.., ahh sebut saja Steve.
Steve datang sendiri. Tidak bersama teman-temannya. Aneh, biasanya anak ini ‘begaul abis’. Tidak lama setelah ngobrol ngalor-ngidul panjang lebar membicarakan software-software terbaru. Tiba-tiba ia menatap saya dengan mata yang sendu… Lalu berkata “Pak, saya Gay”.
Wah, saya speechless. Diam seribu bahasa. Tak dapat bicara. Di hati, hanya ada kata.
Setelah menarik nafas panjang. Saya lalu berkata,
“Steve, terimakasih. Saya amat tersanjung apabila kamu menyukai saya. Tapi saya sudah punya tunangan yang sebentar lagi akan menjadi istri saya”
Steve kaget, “Tapi pak, saya juga sudah punya pacar”
Gantian saya yang kaget, “Loh, kamu mau selingkuh sama saya?”
Steve kali ini benar-benar merengut, “Bapak kok geer amat sih. Saya nggak suka sama bapak. Saya cuma mau ngasih tahu, kalau saya gay”
Whalah.., kok jadi kacau gini?
Lalu dia menceritakan bahwa akhir-akhir ini, teman-teman di kampus menjauhi. Setelah beredar gosip, ia sering mampir di Gay Bar di Kuta Bali. Dalam kebingungan mengatasi masalah tersebut. Satu-satunya manusia Indonesia yang ia kenal dengan terang-terangan mengaku punya banyak teman gay, mengumumkannya dan tidak peduli dengan pendapat publik adalah… saya.
Dengan amat sangat, Steve memohon untuk membantunya mengatasi masalah ini. Saya mengangguk setuju. Kasihan si Steve. Masih muda sudah dikucilkan.
Hari kedelapan, saya memberi kuliah History of Digital Art. Sebagai bagian dari silabus mata kuliah, saya harus memberi tugas yang berhubungan dengan Digital Art Lover. Wah kebetulan nih, saya dengan santainya memberi tema tugas pada mahasiswa yaitu “digitalisasi cinta sejenis”. Hahaha…
Tugas itu dikumpul minggu berikutnya. Di jam kuliah yang sama. Dengan metode presentasi karya dalam bentuk digital. Dan 65 mahasiswa merespon balik dengan amat baik. Mereka merepresentasikan apa yang ada dalam benak mereka mengenai cinta sejenis. Karya yang dipresentasikan terdiri dari film animasi, poster, website, sampai kartu ucapan yang pinky banget. Umumnya, menampilkan HIV/AIDS. Simpel, artinya bagi kebanyakan mereka, kehidupan cinta sejenis identik dengan HIV. Namun, diantara mereka juga banyak yang menampilkan jargon “jangan pandang sebelah mata”. Artinya juga simpel, Gay/Lesbi juga manusia, hargai sebagaimana menghargai manusia.
Setelah itu ada diskusi, yang membuat saya terkaget-kaget. Bahwa bagi generasi muda Indonesia (ini general loh, mahasiswa saya berasal dari seluruh pulau-pulau besar di Indonesia) lebih permisif terhadap cinta sejenis. Bahkan umunya menganggap lesbianisme adalah hal yang sangat mengasikkan, alasannya “Pak, asik loh nonton pelem bokep yang isinya perempuan ama perempuan lagi maen”.
Whalah!
“Kenapa kamu nggak nonton yang laki-laki main sama laki-laki?”
“Amit-amit pak. Meskipun laki-laki itu masih keluarga sendiri, ngeliat dia telanjang saja saya nggak suka. Apalagi ngeliat orang lain!”
Hahaha… itu mah bukan homofobia. Saya ajah ogah, ngeliat laki-laki telanjang selain diri saya sendiri. Sama ogahnya seperti ngeliat perempuan manula telanjang.
Sejak saat itu, saya lihat Steve lebih sering berkumpul lagi dengan teman-temannya.
Empat bulan setelah saya resign sebagai pengajar, karena harus ke luar negeri. Steve mengirimkan email. Isinya…,
“Pak, saya terpaksa mundur dari sekolah. Alasannya simpel, dewan kampus tidak mau menerima saya apa adanya. Semua teman membela saya. Tapi tetap saja saya dan orangtua, dikirimi surat bahwa saya ‘diminta istirahat hingga waktu yang ditentukan dewan pembina’ oleh kampus. Lah, saya luntang-lantung. Tapi saya sadar, bahwa saya punya ilmu yang bisa saya amalkan untuk bekerja. Saat ini saya di Sydney, bekerja sebagai graphic designer. Diberhentikan dari kampus dan berjuang di luar adalah hal yang terbaik saat ini yang pernah saya dapati dalam hidup saya.
Namun, yang lebih baik dari semua itu adalah, saya bahagia, punya seorang guru, yang berkata, bahwa saya adalah manusia dan menjadi manusia adalah sebuah karunia.
Terimakasih pak.”
Sambil menangis, kesal sekaligus terharu…, saya menangkap makna simbolisnya.
Ternyata, dibalik semua kisah ada hikmah.
No comments:
Post a Comment