Sumber: Kompas
Taburan kelopak mawar merah di anak-anak tangga mengiringi para tamu naik ke ruang atas sebuah hotel bintang tiga di Jakarta.
Pasangan yang Jumat (6/1) itu merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-12 menyambut dengan senyum cerah di puncak tangga. ”Terima kasih... ’thank you’...,” kata keduanya dalam bahasa masing-masing.
Acara dimulai sekitar pukul 20.00. Sekitar tujuh puluh tamu duduk di meja-meja bundar di ruangan siap mendengarkan kesan dan pesan dari pasangan yang berbahagia itu. ”Terima kasih telah datang dalam anniversary kami yang ke-12... tidak mudah waktu itu kami lalui....” Sejenak ia berhenti, tergugu dan menahan tangis. Semua diam....
Sebuah usapan di punggung dari sang kekasih dan pelukan ibu mertua yang berkebangsaan Belanda menyelesaikan sedu sedan itu. Pidato diteruskan. Tepuk tangan meriah menyambut lagu Ik houd van jou—Aku Cinta Padamu. Teman-teman dan kerabat berebut memberi salam. Tidak ada yang berbeda dari resepsi serupa, kecuali satu hal: mereka pasangan gay alias homoseksual.
Keterbukaan atas preferensi seksual ini, seperti gay, lesbian, dan biseksual, sekitar lima tahun belakangan ini memang semakin lebar. Bahkan, ketika membuat tulisan ini, beberapa gay dan lesbian meminta identitas mereka ditulis dengan jelas. Cerita pribadi mereka mengalir lancar. Jauh berbeda dibanding katakanlah sepuluh tahun yang lalu ketika tidak ada orang yang bersedia diwawancara tentang preferensi seksual.
”Keterbukaan dalam lima tahun terakhir ini sangat dipengaruhi internet, media massa, dan multikulturalisme di Indonesia,” kata Dede Oetomo, yang pada tahun 1982 mendirikan organisasi gay pertama, Lambda Indonesia, dilanjutkan dengan Gaya Nusantara pada tahun 1987. Liputan media membawa wacana tentang homoseksualitas masuk ke ruang publik. ”Dibicarakan aja, walaupun lebih banyak yang shock dan maki-maki sudah memberi ruang,” kata Dede, yang di tahun 1980-an menggunakan PO BOX dalam membangun komunitas gay.
Internet kini menjadi modus utama komunikasi dalam komunitas ini. Di ruang cakap (chatting room) program mIRC, misalnya, ada yang disebut saluran #gim di mana orang gay bisa berkenalan dan bercakap-cakap langsung secara pribadi. Kata-kata pembukaan seperti asl dan stats, langsung menanyakan age, status, dan location serta data fisik seperti tinggi badan dan data-data lainnya. Ada juga ruang cakap di www.gay.com yang menyediakan khusus ruang cakap untuk tiap negara termasuk Indonesia.
Selain situs web yang di antaranya berisi personal ads alias iklan diri yang berisi data, hobi, minat, dan foto di situs seperti www.gaydar.com.au, diskusi juga berkembang lewat berbagai mailing list dengan berbagai karakternya masing-masing. Sebut saja semua_lelaki, undercover_id, dan cybercloset-Indonesia tidak saja menjadi ajang perkenalan, tetapi juga menjadi ajang curahan hati.
Belasan jawaban muncul dalam beberapa hari saat seorang anggota di cybercloset-Indonesia bertanya, apa yang penting dalam sebuah hubungan? Belasan jawaban muncul, seperti Dear JS, when u deeply in relationship u found everything is important... dan Dear James, having a relationship is a commitment to a serious bonding between.... Begitu juga ketika judul sebuah surat elektronik memacu sebuah diskusi: Cinta (gay) anugerah Tuhan?
Seiring dengan gaya hidup kota besar, tempat-tempat pertemuan mereka juga didominasi dengan ruang-ruang publik seperti coffee shop di mal, kolam renang ataupun tempat kebugaran. Sebuah media cetak bahkan menyediakan iklan baris untuk kencan sejenis. ”Co, 26th, gemuk, kerja, tdk kemayu, tggl di Jaksel, cari co 25-40th, kerja, tdk kemayu” (dilanjutkan dengan nomor telepon genggam).
Kalau dulu ada ciri-ciri tertentu yang dipakai, seperti cincin di jari kelingking, anting di telinga kanan, atau sapu tangan di saku belakang, kini komunikasi hanya lewat tatapan mata saja. ”Ada yang kita istilahkan ’gay dar’ alias gay radar,” kata John Badalu Badalu.
John yang juga memprakarsai Q Film Festival—Q dari kata Queer, sebuah istilah untuk kalangan gay, lesbian, biseksual, dan transeksual—mengaku sempat juga mendapat ancaman. Dengan promosi masih pada kalangan terbatas, pemutaran film ditujukan untuk orang umum di pusat-pusat kebudayaan di berbagai kota. Tema-tema seperti konflik dalam diri seorang gay atau lesbian dan keinginan untuk mempunyai anak ditampilkan. ”Tujuannya sebagai ajang membuka diri, sekaligus membuat orang- orang tahu apa dan bagaimana sebenarnya orang-orang homoseksual,” kata John.
Beberapa klub malam yang walau tidak dengan nyata menyatakan dirinya sebagai gay club, tetapi secara rutin menggelar gay nite. Diskotek M misalnya, dikenal sebagai diskotek untuk para homoseksual. Suasana terasa sangat cair begitu berada di dalam diskotek yang mengutip Rp 15.000 untuk masuk ini. Pengunjung berpadu dalam musik disko dangdut dan progresif, Rabu (18/1). Saat acara puncak digelar, yaitu lipsync yang dibuka seorang waria dengan lagu Zaenal dari Rita Sugiarto, diiringi penari latar yang semuanya pria, penonton pun bersorak. ”Gile, yang sebelah kanan ganteng banget, bo !” teriak seorang pemuda dengan rambut di-spike dan kaos ketat.
Kalau selama ini stereotipe gay ditempelkan pada mereka yang kemayu, maka pemandangan malam itu di diskotek M membuyarkan semuanya. Pria-pria bergaya kantoran, mahasiswa, dan pria bertato marak di sini. Sama seperti klub H yang banyak didatangi kalangan atas dengan suasananya yang ultramodern. Pria-pria berbusana kasual saling memberi sun di pipi kiri dan kanan saat bertemu. Tino Mandagi, manajer, menyebut klubnya sebagai klub alternatif. Namun, ia membenarkan kalau 90 persen pengunjung adalah kalangan gay dan lesbian sesuai dengan judul acara yang ditawarkan seperti ”A Campus Nite for Gay” dan ”Pour Homme Saturday”.
Siap adu jotos
- Keterbukaan di tingkat publik ini selalu didahului selesainya konflik dalam diri seorang homoseksual atau biseksual. Selanjutnya, bagaimana ia menghadapi lingkup terdekat, yaitu keluarga. Dan, itu tidak mudah.
Agustin (35), yang juga aktivis lesbian, biseksual, dan transjender di Koalisi Perempuan Indonesia, bercerita bagaimana lesbian mendapat tekanan, baik sebagai perempuan maupun gara-gara preferensi seksualnya. Sebuah penelitian terhadap 20 lesbian menghasilkan kalau 90 persen dari mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual dari keluarga dekat. Ini dilakukan untuk mengubah orientasi seks lesbian dari perempuan ke laki-laki. ”Ada yang dipaksa berhubungan seks dengan kakak dan sepupu atas suruhan ayah,” cerita Agustin yang sempat bentrok dengan ayahnya.
Agustin bercerita, kalau ada perbedaan konsep lesbian generasi tua yang berusia di atas 40 tahun dan generasi muda yang berusia 15-25 tahun. ”Panggilannya Buci dan Femme, tidak Kantil dan Sentul lagi, relasinya juga lebih setara,” katanya.
Inge (34) sempat merasa lelah dengan hidupnya. Dua kali hubungannya kandas gara-gara tentangan orangtua kekasihnya. Pertama kali jatuh cinta di bangku SMA, Inge sempat memukuli diri sendiri karena merasa tidak mampu bersaing dengan laki-laki. Sempat mencoba pacaran dengan laki-laki, bagi Inge semua terasa hambar. Sementara keluarganya kini sudah bisa pasrah, Inge dan kekasihnya yang tidak punya orangtua lagi itu kini telah menikah dan tinggal di luar negeri.
Bagi para gay atau lesbian, preferensi seksual mereka tidaklah berhubungan dengan kinerja mereka di dunia kerja. ”Kami ini manusia biasa, juga punya hobi, selera dan profesi, yang beda cuma preferensi seksual kami saja,” kata Ade (35), yang bekerja di biro publikasi.
Jatuh cinta pada Bonnie dalam sebuah pertemuan para lesbi di Jakarta, mereka kini hidup bersama di sebuah rumah kontrakan. Sehari-hari, mereka saling memanggil dengan sebutan sayang babe atau baby. Penerimaan keluarga dan masyarakat cukup baik. Ketika mereka tampil dalam sebuah acara talkshow di televisi, para tetangga yang menonton memberi respons datar-datar saja.
”Waktu aku putus pacaran, ibu malah bilang, ya sudah masih ada perempuan yang lebih baik dari dia,” kata Bonnie yang sejak berusia 18 tahun telah ditanya oleh ayahnya apakah ia lesbian. Bagi Bonnie, keterbukaan membawa kepada kelegaan karena jadi tidak ada yang aneh-aneh, seperti gosip di kantor. ”Aku bilang aja aku lesbi, gosip itu hilang. I’m lesbian, so what ?” kata Bonnie.
Mamoto (42) dan Hendy (33) sempat mengalami masalah besar saat keluarga Mamoto pertama kali datang ke rumah pasangan ini untuk pertama kali. ”Saya kabur, membawa koper dan menangis di Bundaran HI. Sejak peristiwa itu, berangsur keluarga lebih dapat menerima,” jelas Mamoto.
Pasangan yang mengukir tanda pertemuan mereka 7/11/99 di depan rumah kini memandang diri mereka sebagaimana keluarga. Mereka suka bergantian, siapa yang menjadi suami atau menjadi istri hari ini. Kuncinya, kesetiaan pada komitmen. Lucunya, kalau bertengkar mereka siap adu jotos dan saling berteriak. ”Namanya juga laki-laki, pernah semua tetangga kumpul di sini melihat kami berantem ha-ha-ha-ha,” kata Hendy.
Tidak seks belaka
- Sebagaimana kisah hidup kalangan heteroseksual, ada beraneka ragam kisah hidup homoseksualitas.
Kristiawan (34) mengaku menjadi homoseks gara-gara terbiasa berkencan dengan pria saat ia duduk di bangku kuliah. Kebiasaan yang dilatarbelakangi kebutuhan finansial itu membuatnya beralih menjadi homoseksual. ”Awalnya aku coba- coba, tertarik sama cowok karena ingin memiliki tubuh seperti itu juga, tetapi lama-lama rasa itu menjadi lain,” katanya.
Ia kini hidup di antara komunitas gay karena merasa lebih bisa mengekspresikan diri. Hidup di dalam komunitas membuatnya mudah mencari kenalan baru, baik untuk hubungan serius maupun untuk sekadar untuk selintas kemesraan. Baginya, berganti- ganti pasangan adalah hal yang wajar.
Inilah dunia homoseksualitas. Sebuah dunia nyata yang tidak lagi bisa kita nihilkan dari kenyataan karena mereka hadir dan nyata bahkan pada jarak beberapa meter saja dari tempat kita berdiri. Dunia ini begitu kompleks, sebagaimana yang dikatakan Samuel Wattimena. ”Dunia homoseksualitas itu seperti dunia hetero saja, tidak semua hedonis. Banyak pekerja kreatif yang mengisi hidupnya dengan bekerja. Juga ada kesetiaan dan cinta di sana, tidak sekadar hura-hura dan seks belaka,” kata Samuel.(XAR/DHF/IND/ARN/NMP/Edna C Pattisina)
No comments:
Post a Comment