Tuesday, January 16, 2007

Orientasi Seksual (New Zealand, Malaysia)



Sumber: Kompas Cyber Media

"Bahwa sesungguhnya, tubuh kita adalah milik kita sendiri dan tidak ada yang berhak mengatur tubuh kita, apakah itu orang tua, negara dan bahkan agama ..."

(Dede Oetomo, pendiri GAYa Nusantara)

Halo pembaca, apa kabar? Tema KOLOM KITA (KoKi) hari ini soal orientasi seksual manusia, yang tidak lagi hanya didominasi heteroseksualitas, namun juga hubungan cinta antarsesama laki-laki (homoseksual) atau perempuan (lesbian). Entah apakah Anda menyukai tema ini? Kita lihat saja reaksi Anda besok.

Banyak orang yang menggeleng-gelengkan kepala dan berguman," Ini zaman edan," ketika muncul usulan untuk menyetarakan relasi hidup homoseks dengan lembaga perkawinan. "Ah, hal semacam itu tidak mungkin terjadi di Indonesia," mungkin begitu reaksi kita, bukankah kita semua dididik dalam ikatan moral dan agama yang kuat. Sayangnya, ini tak semata urusan agama, sebab di masa kini "hak" semakin diterima sebagai justifikasi moral yang terpenting.

Seperti yang Dede Oetomo katakan dalam kalimat pembuka tadi bahwa pilihan menjadi seorang homoseksual adalah mutlak hak pribadi yang tidak berhak diganggu gugat oleh pihak di luar diri pribadi.

"Aku homoseksual, so what?", kalimat itu kini semakin sering diucapkan orang secara terbuka untuk mengungkapkan pilihan seksualitasnya yang nonheteroseksual.

K. Bertens, pernah menulis, di zaman sekarang, pendekatan moral yang semakin dominan adalah pemikiran hak. Norma moral yang paling penting adalah hak. Jika ternyata orang berhak, suatu perbuatan atau keadaan bisa dibenarkan secara moral.

Sebelum tahun 1973, homoseks/lesbian digolongkan sebagai "abnormal". Setelah itu, seperti dikenal luas kalangan psikologi, homoseks/lesbian tidak lagi dianggap sebagai gejala abnormal. Kaum homoseks hanya mempunyai orientasi seksual berbeda. Orientasi seksual mereka terarah kepada sesama jenisnya, sama seperti kaum heteroseks memiliki orientasi seksual kepada lawan jenisnya.

Bila homoseksualitas tidak merupakan penyakit dan tidak pula merupakan kelainan jiwa, maka kaum homoseks harus diberi hak yang sama seperti orang lain. Sementara, di sisi lain, sekelompok orang masih berpendapat, bahwa menurut kodratnya seksualitas mengandaikan polaritas antara pria dan wanita, sedangkan homoseks/lesbian adalah penyimpangan, dan sesuatu yang bertentangan dengan nature (alam) akan ada akibatnya, misalnya AIDS.

Situasi hidup yang dialami orang homoseks memang serba sulit, dan diskriminasi terhadap mereka -- dalam bentuk apa pun -- tidak bisa dibenarkan. Tak kurang, mantan Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu, menyerukan kesetaraan hak bagi kaum gay dan lesbian. Namun, dia menolak mengatakan persetujuan atas pernikahan antara sesama di masing-masing kelompok itu, dan penerima Nobel Perdamaian itu mengatakan lebih memilih untuk "memberkati" kelompok itu.

Pengaruh agama di bidang moral memang semakin berkurang dan setiap orang memiliki kebebasan (freedom) untuk menentukan pilihan hidupnya secara otonom. Mudah-mudahan, itu tak semata-mata dipergunakan untuk memenuhi nafsu kelamnya. Entah kita harus berkata apa ketika kaum penggemar hubungan seks dengan anak-anak di Belanda mendesak disahkannya pornografi anak-anak, dan .. tindakan hubungan seks dengan hewan. Begitulah seksualitas berkembang tak hanya antara pria, wanita, gay atau lesbian saja, ada pula seksualitas "gado-gado" yang enggak jelas juntrungan-nya, seperti yang dikisahkan Ardy di New Zealand di bawah nanti.

Malam t’lah memberiku sepasang mata yang kelam
Mudah-mudahan kupakai itu’ntuk mencari terang

Hmm, entah nyambung apa enggak, "secara" ini sudah dini hari dan tema ini membuat saya bingung, selamat membaca ...

**************************************


Bagian I: SURAT-SURAT ANDA

Seksualitas
(Ardy-New Zealand)

Dear Zev, baru2 ini saya ber-teleconference dengan beberapa teman Indo (semuanya cowok lajang berpendidikan post-doctoral di bawah 33 tahun) mengenai untung/rugi untuk tidak menikah. Nggak tahunya diskusi malah merambat ke topik kenapa banyak anak muda Indonesia yg hijrah ke luar negeri dan nggak mau menikah atau menunda pernikahan sejauh mungkin, terutama yang cowok.

Ada beberapa pengakuan yang cukup mengejutkan. Salah satu ‘peserta diskusi’ yang pernah tinggal di Korea Selatan mempunyai pengalaman hubungan sesama jenis dengan teman kost dia. Waktu itu mereka lagi dalam keadaan mabuk, terus terjadilah hal itu. Ternyata si teman kos dia (orang Korea) itu sudah pernah melakukan hal2 serupa selama pendidikan militer.

Peserta diskusi’ lainnya yang pernah study di Singapura juga mengakui adanya kejadian serupa disana tersebut berdasarkan cerita yg dia dengar dari teman2 kuliah dia yg notabene orang Singapura sendiri. Ada pula selentingan issue bahwa National Service yang wajib bagi laki2 muda itu telah menjerumuskan banyak kaum cowok negara itu menjadi biseksual – bahkan gay. Karena kaum cowok umumnya menghabiskan masa lebih dari dua tahun mandi bersama dan tinggal bersama di kamp pelatihan. Plus gaya hidup materialistik negara kota itu juga turut mempengaruhi keputusan kaum cowok untuk mendapatkan kepuasan seks tanpa terikat dengan beban finansial.

Berhubung hanya cowok yang perlu menjalani National Service, kaum muda perempuan Singapura sudah menjajaki karier ataupun study lebih dulu dari pantarannya yang cowok – sehingga banyak cewek disana yang menikah dengan laki2 yang lebih tua. Lagipula pengalaman melakukan seks "O" itu bisa terbawa sampai lama. Pengalaman di masa akil baliq bisa mempengaruhi orientasi seksual seseorang.

Diskusi kemudian berubah jadi ajang pengakuan. Ada yang pernah terlibat MFM (Male Female Male) saking terbawa sama nafsu. Itu terjadinya ketika dia sedang studi penelitian di salah satu peternakan di pedalaman States sana. Sejak itu pandangannya tentang seks agak ‘terbuka’ sehingga dia berani untuk turut serta dalam threesome itu. Teman dari Australia menimpali bahwa seks dengan binatang (bestiality) adalah haram hukumnya di benua kangguru itu, meskipun tidak berarti bahwa hal itu tidak terjadi.

Banyak lagi pengakuan dan juga cerita tentang pengalaman dengan sesama jenis baik dari pengalaman sendiri maupun dari kenalan atau orang lain, misalnya cubicle sex, steamy sauna, full-body massage dan tranny show di Thailand – berhubung ini dapur KoKi, tidak perlu semuanya diungkapkan.

Mungkin yang menarik bagi pembaca KoKi adalah berhubungan erat pula dengan beberapa artikel di kolom Perilaku dan Problem Sex serta film Brokeback Mountain, banyaknya kaum lelaki sekarang yang biseksual, suka berhubungan seks sesama jenis, dengan lawan jenis pun bolehlah menuruti budaya hetero yang mayoritas ataupun closeted gay – mungkin karena adanya seks bebas dan waktu luang serta kesempatan yang luas. Intinya, hipotesa kami adalah sbb:

1) Suami-suami yg hobi keluyuran, tidak memperhatikan istri dan anak2nya dan sewaktu masa pacaran nggak ‘hot’ sama sekali dengan alasan seperti menjaga kesucian bahkan cium pipi pun nggak pernah mungkin termasuk kategori ini.
2) Cowok2 yg tidak termasuk kategori “cowok idaman” tapi memasang standard yg tinggi biar se-akan2 nggak pernah bisa mendapatkan cewek idamannya – jadi khan nggak perlu menikah donk.; ciri2 lainnya biasanya mudah berkawan dengan cewek karena bisa memahami perasaan cewek, lebih sensitif dari cowok lainnya – She’s the Man & What Women Want, sopan banget, nggak pernah megang2 sembarangan soalnya nggak terlalu bernafsu sama cewek sih, dan mungkin pula cenderung untuk empati dengan orang lain soalnya mereka khan sensitive perasaannya dan juga pada teringat/terbayang tuh sama gimana yah rasanya sewaktu/seandainya orang berempati terhadap masalah seksualitas mereka.

Ok deh gitu dulu. Semoga ada tanggapan yg menarik sehingga bisa saya jadikan topic paper buat conference. Thanks.

No comments:

Post a Comment